Rabu, 31 Oktober 2007

Ketika kesehatan seseorang dibisniskan

Saya teringat dengan salah satu slogan terpopuler pada mata pelajaran ekonomi pada saat saya masih duduk di bangku SMP. Slogan itu bernama “prinsip ekonomi” dan isinya kurang lebih : dengan modal sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Walau terkesan sangat teoritis, tapi memang itulah prinsip paling prinsip dari ekonomi. Seorang pengusaha yang sukses tentu selalu berusaha mencari celah agar usaha yang dilakoninya hanya membutuhkan modal sesedikit mungkin dengan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Ya, dengan usaha yang optimal, tentu hasil itu tidak mustahil untuk diraih. Tapi tidak jarang pula untuk mencapai target keuntungan tersebut, segelintir orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.

Menjadi pengusaha memang harus juga memiliki modal akhlak yang baik. Karena kalau tidak, bisa-bisa usahanya untung, tapi secara akhlak rugi besar.
Saya adalah seorang apoteker. Tidak bisa disangkal lagi, apoteker adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan dunia kesehatan karena “mainan” apoteker adalah obat. Apoteker adalah seorang drug expert walau mungkin saya belum bisa dikategorikan sebagai seorang ahli obat. Tapi memang benar, seharusnya hanya apotekerlah orang yang betul-betul memahami dan bertanggungjawab tentang seluk beluk obat, mulai dari bahan baku pembuatnya,proses manufakturing obat, kontrol mutu obat, distribusi obat,penjualan obat, hingga pemantauan ketepatan pemakaian obat oleh pasien. Seperti profesi-profesi kesehatan lain, basis pelayanan apoteker adalah basis pengabdian kepada masyarakat, karena kesehatan adalah hak siapa pun tidak peduli orang tersebut kaya-miskin, tua-muda.

Ada yang menarik dengan profesi apoteker ini. Karena cakupannya luas, maka kecenderungan keilmuan farmasi dibagi menjadi dua. Pertama adalah teknologi farmasi yang arahnya lebih ke bidang manufaktur, penelitian obat baru, dan pengontrolan kualitas. Dan kedua adalah farmasi komunitas yang arahnya lebih kepada pelayanan kesehatan dan informasi obat kepada masyarakat. Obat adalah suatu komoditas yang tidak pernah surut. Sepanjang manusia masih mengenal istilah “sakit” maka obat akan tetap diproduksi dan didistribusikan. Dengan peluang seperti itu, maka banyak muncul pengusaha-pengusaha obat. Baik pengusaha urusan teknologi disini adalah para pemilik industri farmasi, maupun pengusaha urusan komunitas disini adalah para pemilik apotek maupun rumah sakit. Selama masih ada orang yang sakit, selama itu pula lah bisnis mereka berjalan. Bisnis farmasi. Suatu pelayanan yang seharusnya didasari oleh semangat pengabdian kepada masyarakat, sudah bergeser kepada semangat bisnis, meraup keuntungan sebesar-besarnya bahkan tidak sedikit mereka-mereka pebisnis farmasi yang mulai lupa dengan tujuan dasar pelayanan farmasi, yaitu membantu menyembuhkan penyakit si sakit dengan menggunakan obat yang berkualitas.
Akibat dari pergeseran fungsi pelayanan farmasi dari pengabdian masyarakat kepada bisnis farmasi, maka akhirnya dikhawatirkan pengusaha obat semakin meraup untung sedangkan masyarakat semakin mendapat buntung, karena dijatuhi pilihan obat berkualitas tapi mahal atau obat murah meriah tapi kualitas dipertanyakan.

Saya coba berandai-andai. Seandainya kualitas sistem kesehatan di negara kita sudah sangat baik dan didukung oleh personel-personel yang baik pula. Seandainya orientasi farmasi baik teknologi farmasi maupun farmasi komunitas adalah orientasi pengabdian masyarakat, tanpa tercampuri itikad bisnis sama sekali. Mengapa bisa murni tanpa pengaruh bisnis? Karena sistem kesehatan ini sepenuhnya disokong oleh dana dari pemerintah. Terbayang pada kondisi itu, seluruh dokter dan apoteker dibayar dan didanai oleh pemerintah. Apotek bukan tempat untuk berbisnis obat, tapi apotek benar-benar menjadi tempat pengabdian profesi bagi seorang apoteker. Apoteker mendapat honor bukan dari hasil berjualan obat, tetapi apoteker adalah petugas pemerintah yang memang dibayar secara memuaskan untuk memastikan kualitas obat maupun kualitas penggunaan obat oleh pasien benar-benar baik dan memuaskan. Pun dokter mendapatkan bayaran yang sangat memuaskan dari pemerintah, sehingga tidak ada lagi mafia entertain dokter yang dilakukan oleh medical representive sebagai utusan produsen obat. Entertain dokter, memang tidak semuanya buruk, tapi bagi saya sistem ini adalah sebuah keburukan yang memang sudah menjadi rahasia umum, dimana seorang dokter diiming-imingi hadiah tertentu dari produsen obat, agar obat produksinya diresepkan oleh dokter yang bersangkutan, sehingga target penjualan dari produsen obat tersebut dapat tercapai. Tidak ada yang salah jika obat tersebut memang diresepkan terhadap pasien yang betul-betul membutuhkannya. Yang berbahaya adalah, jika demi mengejar target penjualan, maka obat tersebut diresepkan terhadap pasien manapun baik yang membutuhkan maupun yang tidak membutuhkan obat tersebut. Lagi-lagi pasien yang menjadi korban.

Sehingga seluruh apotek yang berdiri adalah apotek milik pemerintah, sehingga di apotek manapun kita memperoleh obat, (apapun jenis obat yang kita butuhkan) akan mendapatkan kualitas obat yang sama dengan cara memperoleh yang sama-sama mudah, dan mutu yang terjamin, karena ada apoteker di apotek tersebut yang menjamin kualitas dan cara pemakaian obat tersebut. Sehingga obat adalah komoditas yang betul-betul didistribusikan bagi kepentingan masyarakat, dan tidak dibisniskan.
Mungkin pemikiran yang agak aneh bagi beberapa orang. Tapi menurut saya, logis kok kalau seorang praktisi kesehatan seperti saya memiliki impian, negeri utopisnya sendiri. Ada yang mau bersama-sama bergabung dengan saya? Minimal saling bertukar cerita etentang negeri utopia-nya . . .

2 komentar:

Doti mengatakan...

jadi apoteker jadi PNS?

sistem yang adil, peredaran obat juga (mungkin) bisa lebih dibatasi menjadi benar2 hanya dibawah pemerintah.

tapi kalau gitu semua apotek sama dong? apa kabarnya apotek2 yang pengen kreatif? pengen ada delivery? atau apotek drive-thru?

hitam :: jingga mengatakan...

Nah itulah . . . jadi mirip sistem sosialis ya? semua harus sama. Tapi apotek kreatif kan akar permasalahannya bisnis apotek itu sendiri... demi meraih konsumen, maka berlombalah para apotek -entah melibatkan apoteker atau tidak- untuk kreatif. Nah lain halnya kalo berapapun konsumennya apoteker tetap diabayar secara memuaskan . . .dan harapan saya, apotek pemerintah ini sudah sangat2 maju.. delivery, drivethru, info online, konsultasi online, bahkan pengiriman resep via attachment email, dan segudang ide2 kreatif lainnya sudah termasuk di dalamnya . . .semua support systemnya didukung sepenuhnya oleh pemerintah . . .